Saturday, June 04, 2005

Quo Vadis Kominfo?

Detik kelihatannya (lagi-lagi), salah menulis.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ristek dan Teknologi, akan memutihkan pemakaian software di warnet dengan menawarkan solusi open source. Selain itu, tengah dipersiapkan pula mekanisme subsidi sebesar US$3.400 (Rp 32,5 juta) per warnet untuk penggunaan software berlisensi.
Ralat berita itupun masih kurang tegas.
... Menurut Kemal, Menteri Ristek Kusmayanto Kadiman hanya bermaksud menawarkan solusi untuk warnet. Menristek, menurut Kemal bermaksud mengatakan bahwa setiap warnet diberi waktu selama tiga bulan untuk mencari solusi. ...
Saya baru bisa memahami ralat tersebut, setelah membaca posting Ryo Saeba berikut:
... usulan pemutihan itu tidak muncul dari menristek sendiri (KK), tapi usulan dari kominfo (Pak Cahyana), dan itupun dengan skenario pemutihan untuk sementara (1 tahun) dan model lisensinya meniru model lisensi untuk pendidikan (katanya satu lisensi itu USD 20?), sehingga dengan 4000 warnet diperkirakan uang yang dkeluarkan oleh kominfo (bukan dari kantornya menristek, saya ingat dulu benny mempermasalahkan kenapa IT tidak ditangani oleh menristek) adalah tidak lebih dari 100 ribu dolar.

Adakah keuntungan jangka pendek maupun jangka panjang bagi Indonesia untuk melakukan subsidi itu? Sudah saatnya kita lepas dari penjajahan ekonomi. Gunakan software bebas!

Yang masih menjadi pertanyaan saya adalah: mau kemana Kominfo? Kenapa 100 ribu dolar, atau berapapun nilainya subsidi itu, tidak dicurahkan untuk mempercepat lepasnya kita atas ketergantungan software dari manapun?

2 comments:

Kampar said...

kalo pake linux, ada yang meng entertain ngga ya ...?

Rio Menajang said...

Aku lihatnya ini menjadi "window of opportunity" buat open-source saja lah. Pemutihan ini kan terbatas waktunya, sekarang para pengguna tidak hanya warnet terpaksa melihat bahwa kita sekarang masuk ke standar HAKI internasional. Malu juga masuk ranking wahid bangsa pembajak, kan?

Yang harus dilakukan sekarang justru berbicara dengan lebih banyak orang untuk memperkenalkan open-source (dan Linux serta sebangsanya) sebagai alternatif propiatory soft-ware. Ajarkan tentang alternatif software yang bukan bajakan tapi tidak bayar juga, biaya yang keluar hanya untuk membayar orang yang sudah paham untuk istalasi (kan biasanya rada rumit) setidaknya pada tingkat OS, karena pada level aplikasi rasanya akan lebih mudah.

Nah, kita mau mengarahkan energi kita untuk mengeluh atau memanfaatkan ini sebagai peluan? Terserah saja kok.