Sunday, November 21, 2004

Seri Mudik #2: Solo - Ngrejo

Hari kedua perjalanan mudik. 11 November 2004. Masih puasa.

Solo terkenal dengan berbagai macam makanan enak. Favorit kami adalah sosis Solo, yang dibuat dari telur dadar digulung, diisi daging cacah. Selain itu, tidak lupa juga abon dan srabi Notosuman. Srabi ini tanpa kuah, dimasak diatas wajan tanpa (?) minyak, bagian pinggir kulitnya renyah.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah makam mertua perempuan, di Karanganyar. Beliau wafat seminggu sebelum Ibu Tien Suharto, sehingga kami kadang berkelakar, bahwa beliau berangkat terlebih dahulu untuk menyiapkan jalan bagi Ibu Tien.

Sayang sekali, selama perjalanan kali ini, saya tidak sempat merekam lintasan yang kami lalui dengan GPS. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat merekam perjalanan Bandung - Madiun - Bandung dengan GPS, ke laptop yang telah dilengkapi dengan konverter DC ke AC, sehingga laptop bisa terus menerus menyala. Saya masih berharap di tahun mendatang bisa mencatat route perjalanan kami dengan GPS, selain untuk mengunjungi beberapa titik konfluensi (?) (confluence).

Titik konfluensi adalah tempat di permukaan bumi dengan derajat bujur dan lintang yang bernilai bulat. Titik konfluensi yang cukup dekat dengan lintasan mudik saya ada beberapa: 7oS, 108oW di sekitar Nagreg- Malangbong dan 8oS, 111oW di sekitar jalur Wonogiri - Pacitan. Satu lagi titik konfluensi yang cukup dekat dengan Madiun adalah 8oS, 112oW di sekitar jalur Kediri - Blitar.

Ketika mengunjungi titik-titik konfluensi tersebut, sebaiknya kita membawa GPS handheld dan kamera digital, agar hasil kunjungan tersebut dapat didokumentasikan ke situs confluence.org. Dari 340 titik konfluensi di seluruh Indonesia, sampai saat ini baru 13 titik yang dikunjungi dan dilaporkan! Salah satu faktor yang mempersulit kunjungan ke titik-titik tersebut adalah, kebanyakan terletak di laut.

Dari Karanganyar, perjalanan diteruskan melalui jalan pintas lewat Jatipuro (?) langsung ke Ngadirejo, alih-alih kembali ke Solo dan memutar balik lewat Wonogiri. Dari Ngadirejo, kami ke Tirtomoyo, lalu ke Ngrejo. Desa tempat tinggal nenek dari istri ini cukup terpencil. Jalan ke sana belum di aspal. Baru beberapa tahun terakhir ini penduduk berswadaya membuat dua jalur semen sepanjang jalan utama, sehingga kendaraan masih bisa lewat dengan cukup leluasa di musim hujan.

Satu hal menarik ketika kami menuju ke Ngrejo adalah, kami harus menyeberang sungai tanpa melalui jembatan. Sebenarnya ada jalan alternatif yang telah memiliki jembatan, tapi saya agak lupa arahnya, dan lagipula kami ingin mengumpulkan batu-batu kerakal (kerikil berukuran besar) yang halus, yang biasanya banyak terdapat di sungai. Ternyata ada kejutan menunggu kami: jalur yang biasanya kami lewati telah lenyap, dari jalan tanah ke sungai, ada tebing setinggi sekitar 2 meter yang tidak mungkin dilewati mobil. Rupanya arus sungai telah merusak jalur lama tersebut, dan penduduk sekitar telah membuat jalur baru sekitar 50 meter di sebelah jalur lama.

Setelah memutar sedikit untuk mencapai jalur baru, mobil mulai menyeberang sungai yang hampir kering karena masih kemarau. Kami turun dan mulai berburu batu. Anak-anak sangat senang bisa bermain air.

Sayang, sampai hari kedua ini saya masih belum sempat mengabadikan berbagai pemandangan dan kegiatan keluarga kami dengan kamera.

... bersambung

1 comment: