Thursday, November 25, 2004

Seri Mudik #6: Madiun - Tawangmangu - Bandung

Perjalanan pulang dari Madiun ke Bandung melewati route Madiun - Magetan - Sarangan - Cemoro Sewu - Tawang Mangu (menginap semalam) - Solo - Jogja - jalur selatan - Tasikmalaya - Bandung.

Sekali lagi gejalan korupsi kronis ditemui: ketika masuk ke Sarangan, penjaga memberikan 1 tiket motor dan 1 tiket anak, padahal mestinya saya membayar untuk 1 mobil dan 4 orang. Lain kali saya mesti memeriksa tiket yang diberikan. Tapi situasinya secara psikologis memaksa kita untuk buru-buru dan tidak teliti: banyak kendaraan lain antri di belakang kita.

Jalur Sarangan - Cemoro Sewu ini luar biasa: ada tanjakan 34% sepanjang 5km, yang saya tempuh dengan mesin yang dipaksa pada RPM 4000+ dan gigi 1. Bila anda ingin menguji kekuatan rem kendaraan anda, silahkan ambil jalur sebaliknya, Solo - Tawang Mangu - Cemoro Sewu - Sarangan. Kelihatannya butuh teknologi Formula 1 untuk bisa lewat jalur ini dengan nyaman :D



Di Tawang Mangu, kami mampir ke Grojogan Sewu, air terjun yang cukup indah. Pengunjung berjejal seperti cendol :D. Di jalan setapak naik dari air terjun ke tempat parkir, banyak kera liar. Suatu situasi yang sangat jarang ditemui di Jawa.



Selanjutnya, tidak ada lagi yang menarik untuk diceritakan, karena kami sudah lelah, mengantuk, kepanasan, dan kena macet. Alhamdulillah, kami sampai di Bandung setelah menempuh perjalanan sangat lama: berangkat dari Tawang Mangu kamis pukul 4 sore, sampai di Bandung jumat pukul 1 siang.

... tamat

Wednesday, November 24, 2004

Seri Mudik #5: Pacitan

SBY yang baru terpilih menjadi presiden Indonesia berasal dari Pacitan. Lagipula, setelah hampir 20 tahun tinggal di Madiun, hanya Pacitan satu-satunya kota di eks karesidenan Madiun yang belum pernah saya kunjungi. Jadi, cukup alasan untuk berangkat.

Perjalanan Madiun - Pacitan sejauh sekitar 90 km memerlukan waktu sekitar 3 jam, melewati lebih dari 300 tikungan (yang dihitung oleh paman saya yang membawa counter), tapi tidak terlalu banyak tanjakan maupun turunan. Sebagian besar jalan yang kami lewati beraspal mulus. Rupanya baru beberapa tahun ini jalan Ponorogo - Pacitan yang biasanya hanya cukup untuk satu mobil, diperlebar sehingga ketika dua mobil berpapasan, tidak perlu lagi mencari penggalan jalan dengan bahu yang lebar.


Teluk Pacitan


Teluk Pacitan cukup panjang. Jadi kami tidak perlu berdesak-desak dengan pengunjung lain walaupun objek wisata ini cukup populer untuk dikunjungi para pemudik.

Sementara, kami lewati dulu pantai, dan menuju ke Goa Gong.


Goa Gong


Goa kapur banyak terdapat di Pacitan. Salah satu yang terbesar adalah Goa Gong. Di dalamnya banyak stalaktit dan stalagmit. Beberapa area berpendar-pendar ketika difoto, mengingatkan saya pada lagu

There's a lady who's sure
all that glitters is gold
and she's buying
a stairway to heaven ...

Bermain air di pantai Pacitan


Air laut di Pantai Teleng Ria bersih. Anak-anak yang tidak sempat mandi air tawar setelah bermain di pantai, dan hanya diguyur dengan beberapa botol aqua sebelum naik ke mobil dan pulang ke Madiun, tidak merasakan gatal-gatal.

Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa korupsi kronis sudah menyentuh berbagai daerah tujuan wisata. Ketika kami masuk, penjaga Pantai Teleng Ria yang bertugas menarik retribusi menanyakan jumlah penumpang kendaraan, yaitu 10 orang. Kami membayar tiket untuk 1 mobil dan 10 orang. Tapi belakangan kami baru sadar bahwa tiket yang diberikan hanya untuk 1 mobil dan 7 orang. Sigh.

... bersambung

Tuesday, November 23, 2004

Book Review: Digital Fortress

spoiler warning!!!


Di tengah kesibukan mudik ke Madiun, ada SMS datang dari mas Budi:

Saya sudah beli Digital Fortress
Sip! Saya tidak sabar untuk segera balik ke Bandung dan membaca buku top seller karangan Dan Brown tersebut. Sebelumnya, saya telah membaca Da Vinci Code. Kedua buku itu sarat dengan masalah sekuriti, terutama enkripsi. Topik yang sangat menarik. Tetapi begitu melewati beberapa bab awal, greget yang saya rasakan ketika membaca Da Vinci Code tidak saya temukan kembali. Ada sesuatu yang kurang dalam buku ini.

Tak apalah. Saya teruskan membaca. Lagipula mas Budi bilang kalau dia suka dengan plotnya. Saya paksakan membaca sampai lewat tengah malam, sambil teringat pada posting Pak Moko di milis Telematika, bahwa dia sudah tiga tahun ini membaca dua buku sehari, 7 hari seminggu. Kenapa tidak saya coba? Tapi ternyata berat. Pukul 01.30 aku tidak kuat menahan kantuk yang mampu mengalahkan daya tarik Digital Fortress.

Keesokan paginya, buku setebal 429 halaman tersebut berhasil saya selesaikan. Dan dengan sangat menyesal saya mesti katakan: jangan baca buku itu. Jelek!

spoiler warning!!!


Coba bayangkan: superkomputer milik NSA, yang dibangun dari 3 juta prosesor, tidak mampu multitasking! Dia berhenti pada satu proses saja, dekripsi file yang syahdan berisi source code Digital Fortress yang ter-enkripsi, dan tidak terpecahkan setelah diproses lebih dari 15 jam. Padahal antrian dekripsi masih segunung.

Keanehan berikutnya adalah program tracer, yang menurut cerita Mas Brown, bisa dipakai untuk melacak alamat email asli dari suatu akun email anonimyzer. Tracer tersebut akan dikirim ke alamat remailer, lalu di-forward ke alamat sebenarnya; sesampainya di tujuan, tracer akan menggali info tentang alamat email sebenarnya, mengirim info ini ke pembuat tracer, lalu melenyapkan diri bagaikan David Copperfield.

Satu hal yang konyol adalah tentang "virus" (atau "worm"?, Dan Brown memakai kedua istilah yang rasanya kurang tepat tersebut). Virus Digital Fortress ini pada akhirnya bisa menyusup ke jantung bank data, lalu menyerang beberapa lapis firewall dan bastion host yang melindungi bank data tersebut. What the hell!?!? Sedemikan lemahkah sistem NSA? Apakah tidak ada pembatasan hak? Mungkinkah proses dekripsi suatu file bisa menyebabkan buffer overflow (atau apapun mekanismenya) yang bisa menyerang 5 macam network device external sekaligus? Saya jadi ingat dengan Pelawak Digital kita yang sangat termashyur.

Mungkin saya berharap terlalu banyak pada Dan Brown setelah terpesona oleh Da Vinci Code. Tapi masih ada beberapa bagian buku yang cukup menghibur, misalnya peralihan bahasa dari without wax yang dalam bahasa Spanyol adalah sin cera dan kemudian diserap ke bahasa Inggris menjadi sincere. Juga demonstrasi penguasaan bahasa Latin dan Spanyol. Juga deskripsi detil tentang lorong-lorong di Seville.

Pada awalnya, nama tokoh Jepang yang dipilih, Ensei Tankado, terasa janggal di telinga. Pencarian lewat google tidak menghasilkan banyak hit. Jadi, apakah memang nama itu nama Jepang, walaupun tidak umum? Tapi tak apalah. Kejanggalan ini tidak terlalu terasa mengganggu dibanding kekurangan teknis di atas.

Kekecewaan David Caldwell dan saya atas Dan Brown ini serupa dengan kekecewaan saya atas Tom Clancy. Beberapa buku awal Clancy seperti Red Storm Rising, Hunt for The Red October, dan Patriot Games sangat menarik. Tapi karya-karya terbaru Clancy sangat membosankan. Semoga Dan Brown tidak seperti itu ...

Tapi memang menulis kritik atas suatu buku sangat jauh lebih mudah daripada menulis buku ...

Seri Mudik #4: Madiun

Madiun adalah kota masa kecilku. Kota yang dikelilingi oleh banyak pabrik gula: Kanigoro, Rejo Agung, Sudono, Pagotan, dan Purwodadi. Kota yang panas, sehingga ketika saya merasakan sejuknya Bandung saat mulai kuliah, perlu perjuangan tersendiri untuk betah di ruang tanpa pendingin.

Saya tinggal di rumah kuno, dengan langit-langit setinggi sekitar 4 meter, dan tembok setebal 30 cm.







Rumah nenek berhalaman luas dan penuh dengan pepohonan: mangga, pisang, srikaya, sirsak, jambu, jeruk, sawo, ... Di satu sisi, banyaknya pepohonan memberi tempat untuk berlatih memanjat dan tidak takut ketinggian. Tetapi, saya menjadi sangat pemilih ketika mesti membeli berbagai buah, alih-alih memakan hasil kebun sendiri yang sangat enak. Pada masa puncaknya, pohon jambu air kami berbuah begitu banyak, sehingga ketika akan dipetik memakai galah, jauh lebih banyak buah yang jatuh daripada yang tertangkap oleh keranjang kecil di ujung galah. Maka panen saat itu dilakukan dengan cara membentang kain batik di bawah, yang dibentangkan seperti jaring besar, dan saya memanjat dan cukup menggoyangkan dahan agar jambu berjatuhan. Hasil panen saat itu mencapai empat ember besar (diameter 1 meter).

Tapi pohon jambu air tersebut terpaksa harus ditebang setelah beberapa tahun berikutnya selalu terserang ulat. Pohon yang masih bertahan dari tahun ke tahun dengan buahnya yang sangat sedap adalah mangga. Kami memiliki paling tidak 3 macam mangga: Santog Magetan, Gadung, dan satu lagi yang saya tidak hafal namanya. Santog Magetan ini buahnya tidak pernah berrasa masam, bahkan sejak pencit (muda). Kulitnya tebal. Mangga favorit kami adalah mangga Gadung, yang sangat masam ketika muda (sangat cocok dirujak), dan sangat manis ketika matang.


buah mangga gadung


Kulitnya berwarna hijau terang ketika muda, dan berubah menjadi hijau gelap ketika matang. Cara makan paling nikmat adalah pada sore hari, di atas pohon, tanpa pisau, langsung dipetik, kulit dikupas dengan gigi, dan dinikmati dalam keadaan hangat terpanggang matahari. Mereka yang tidak bisa memanjat dan tidak mampu meraih mangga dengan galah harus menunggu dengan sabar sampai para kera kenyang :D


pohon mangga


Sayang mungkin Idul Fitri tahun ini adalah kesempatan terakhir kami menikmati rumah tersebut.

... house for sale
it was yours, and it was mine
and tomorrow, some strangers
will be climbing up the stairs
to the bedroom filled with memories ...


... bersambung

Monday, November 22, 2004

Seri Mudik #3: Ngrejo - Madiun

Ngrejo adalah desa yang cukup terpencil. Listrik baru masuk ke rumah nenek sekitar 2 tahun yang lalu. Kelihatannya sudah banyak rumah yang memiliki televisi, tetapi karena situasi alam yang berbukit-bukit, para penduduk Ngrejo hanya bisa menikmati siaran televisi hasil pancar ulang dari satu rumah yang memiliki antena parabola dan berbaik hati mau menyebarkannya ke tetangga. Jadi kanal yang tampil hanya satu, bergantung kepada mood pemilik parabola. Istilah dari pemanfaatan bersama ini adalah paranunut.

Ngrejo cukup dingin; di pagi hari, kabut masih sering muncul. Air di sungai masih cukup jernih, mengundang kita untuk bermain.

Siang hari, kami melanjutkan perjalanan ke Madiun. Kali ini kami mencoba melewati jalan pintas Ngrejo - Jatisrono yang sempit, berliku, curam, dan indah. Semoga tahun depan saya bisa mengabadikan keindahan lintasan itu dengan kamera.

Ternyata jarak Ngrejo - Madiun cukup dekat bila melewat jalan pintas itu. Dari Jatisrono, perjalanan diteruskan lewat Ponorogo, lalu Madiun. Jalan alternatif adalah Ngrejo - Tirtomoyo - Baturetno - Pacitan - Ponorogo - Madiun; atau Ngrejo - Tirtomoyo - Ngadirejo - Ponorogo - Madiun; atau melingkar lebih jauh: Ngrejo - Tirtomoyo - Ngadirejo - Wonogiri - Solo - Madiun.

.. bersambung

Sunday, November 21, 2004

Seri Mudik #2: Solo - Ngrejo

Hari kedua perjalanan mudik. 11 November 2004. Masih puasa.

Solo terkenal dengan berbagai macam makanan enak. Favorit kami adalah sosis Solo, yang dibuat dari telur dadar digulung, diisi daging cacah. Selain itu, tidak lupa juga abon dan srabi Notosuman. Srabi ini tanpa kuah, dimasak diatas wajan tanpa (?) minyak, bagian pinggir kulitnya renyah.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah makam mertua perempuan, di Karanganyar. Beliau wafat seminggu sebelum Ibu Tien Suharto, sehingga kami kadang berkelakar, bahwa beliau berangkat terlebih dahulu untuk menyiapkan jalan bagi Ibu Tien.

Sayang sekali, selama perjalanan kali ini, saya tidak sempat merekam lintasan yang kami lalui dengan GPS. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat merekam perjalanan Bandung - Madiun - Bandung dengan GPS, ke laptop yang telah dilengkapi dengan konverter DC ke AC, sehingga laptop bisa terus menerus menyala. Saya masih berharap di tahun mendatang bisa mencatat route perjalanan kami dengan GPS, selain untuk mengunjungi beberapa titik konfluensi (?) (confluence).

Titik konfluensi adalah tempat di permukaan bumi dengan derajat bujur dan lintang yang bernilai bulat. Titik konfluensi yang cukup dekat dengan lintasan mudik saya ada beberapa: 7oS, 108oW di sekitar Nagreg- Malangbong dan 8oS, 111oW di sekitar jalur Wonogiri - Pacitan. Satu lagi titik konfluensi yang cukup dekat dengan Madiun adalah 8oS, 112oW di sekitar jalur Kediri - Blitar.

Ketika mengunjungi titik-titik konfluensi tersebut, sebaiknya kita membawa GPS handheld dan kamera digital, agar hasil kunjungan tersebut dapat didokumentasikan ke situs confluence.org. Dari 340 titik konfluensi di seluruh Indonesia, sampai saat ini baru 13 titik yang dikunjungi dan dilaporkan! Salah satu faktor yang mempersulit kunjungan ke titik-titik tersebut adalah, kebanyakan terletak di laut.

Dari Karanganyar, perjalanan diteruskan melalui jalan pintas lewat Jatipuro (?) langsung ke Ngadirejo, alih-alih kembali ke Solo dan memutar balik lewat Wonogiri. Dari Ngadirejo, kami ke Tirtomoyo, lalu ke Ngrejo. Desa tempat tinggal nenek dari istri ini cukup terpencil. Jalan ke sana belum di aspal. Baru beberapa tahun terakhir ini penduduk berswadaya membuat dua jalur semen sepanjang jalan utama, sehingga kendaraan masih bisa lewat dengan cukup leluasa di musim hujan.

Satu hal menarik ketika kami menuju ke Ngrejo adalah, kami harus menyeberang sungai tanpa melalui jembatan. Sebenarnya ada jalan alternatif yang telah memiliki jembatan, tapi saya agak lupa arahnya, dan lagipula kami ingin mengumpulkan batu-batu kerakal (kerikil berukuran besar) yang halus, yang biasanya banyak terdapat di sungai. Ternyata ada kejutan menunggu kami: jalur yang biasanya kami lewati telah lenyap, dari jalan tanah ke sungai, ada tebing setinggi sekitar 2 meter yang tidak mungkin dilewati mobil. Rupanya arus sungai telah merusak jalur lama tersebut, dan penduduk sekitar telah membuat jalur baru sekitar 50 meter di sebelah jalur lama.

Setelah memutar sedikit untuk mencapai jalur baru, mobil mulai menyeberang sungai yang hampir kering karena masih kemarau. Kami turun dan mulai berburu batu. Anak-anak sangat senang bisa bermain air.

Sayang, sampai hari kedua ini saya masih belum sempat mengabadikan berbagai pemandangan dan kegiatan keluarga kami dengan kamera.

... bersambung

Saturday, November 20, 2004

Seri Mudik #1: Bandung - Solo

Ini adalah bagian pertama dari kisah mudik Idul Fitri kemarin. Tanpa rencana yang tegas, ternyata perjalanan ke kampung dan kunjungan ke berbagai tempat wisata dengan keluarga kali ini cukup berkesan. Kelihatannya saya mesti membuat photoblog juga, untuk menyajikan kumpulan jepretan yang, katanya, bicara lebih dari 1000 kata.

Hari pertama, Rabu, 10 November, kami menempuh penggalan Bandung - Solo. Sebenarnya, tujuan akhir mudik adalah ke Madiun. Perjalanan Bandung - Madiun yang berjarak sekitar 600 km sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sehari, tetapi sembari mengantisipasi kemacetan, dan karena saya (dan istri) tidak suka mengendarai mobil di malam hari, maka rute sengaja dipenggal-penggal.

Hampir tidak ada yang bisa diceritakan pada perjalanan hari pertama ini. Kami berempat (saya, istri, dan 2 anak) berangkat pagi hari setelah sahur. Mobil kijang short chassis penuh dengan barang. Mungkin tahun depan akan saya pasang rel untuk pegangan barang di atap, tapi saya belum sempat survey rel macam apa yang bagus dan cukup terjangkau.

Rem hampir blong di Malangbong, ketika kami baru berjalan sekitar 3 jam. Gejalanya, rem baru mulai bekerja setelah diinjak (dipompa) 4 kali. Kecepatan langsung dikurangi. Nafsu menyaingi Michael Schumacher :D dibuang jauh-jauh. Kontak ke info mudik Telkomsel untuk mencari bengkel siaga, tapi kelihatannya belum siap. Akhirnya mampir ke bengkel yang kelihatannya cukup besar. Sip juga. Mereka punya spare-parts yang saya perlukan. Ternyata karet di sistem hidrolis rem ada yang bocor. Padahal tepat sebelum berangkat mudik, mobil sudah dibengkelkan, tetapi masalah ini tidak terdeteksi sama sekali karena memang gejalanya belum muncul. Montir yang menangani perbaikan memeriksa bagian lain, dan menemukan masalah cukup besar: ball-bearing roda kiri belakang sudah aus, sehingga rem menggesek terus, velg panas luar biasa. Untung dia waspada, jadi ball-bearing ini diganti juga. Semua komponen yang di-klaim bermasalah oleh montir saya konsultasikan ke Bagus yang jauh lebih mengenal mobil daripada saya.

Perjalanan dilanjutkan. Anak-anak dalam kondisi baik, padahal biasa muntah kalau ikut saya keluar kota, karena cara mengemudi saya yang masih kurang halus.

Di suatu daerah di Jawa Tengah (posisi tepatnya lupa), ketika sedang merenung-renung arah mana yang harus ditempuh (yang konyolnya saya lakukan tanpa berhenti dulu), saya hampir menyerempet polisi yang berjaga di pertigaan. Untung dia tidak marah.

Di Purworejo, pada suatu pertigaan yang lampu lalu lintasnya menyala mendrip-mendrip saya terlambat menyadari perubahan dari hijau ke kuning ke merah. Akibatnya mobil berhenti terlalu maju, melewati garis batas. Saya tidak bisa mundur lagi karena keburu ada mobil lain mengantri di belakang. Ketika lampu hijau menyala lagi, dan saya melaju, polisi di seberang langsung melambaikan tangan meminta berhenti. Uh oh. Akhirnya urusan beres setelah saya menitipkan uang tilang. Mestinya saya meminta tanda terima. Saya berbaik sangka dengan menganggap bahwa polisi yang saya titipi uang tilang tersebut akan menyerahkannya ke negara.

Singkat cerita, kami sampai di Solo sekitar maghrib.

... bersambung